BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Riba adalah
satu dari strategi buruk perekonomian yang mendunia. Bukan hanya kaum
kapitalis, kaum muslimin yang berlabel syariah pun kadang tak luput dari
praktek ini. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat
dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan
bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun
pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.[1]
Karena
sifatnya yang mendunia, otomatis sebagian besar aspek ekonomi juga ikut
terjangkit virus ini, terutama di dunia perbankan yang memang bersinggungan
langsung dengan riba, seperti yang terkandung di bunga bank. Kita menyimpan
sebuah aset di bank seperti uang tunai dan kita akan mendapatkan keuntungan
berkat penyimpanan kita di sana, berupa bunga bank, dan sebaliknya jika kita
meminjam uang pada bank, kita pun harus membayar bunga bank sesuai besarnya
uang yang dipinjam. Padahal sebenarnya prinsip baitul maal (bank)
sendiri dalam Islam adalah taawun (untuk tolong-menolong semata).
Benarkah bunga bank adalah riba?. Pertanyaan itu akan kita jawab di keterangan
berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian dari riba?
2.
Apa
pengertian bank dan bunga bank?
3.
Apa
hubungan antara bunga bank dan riba?
C.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka dapat diambil tujuan sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pengertian dari riba.
2.
Mengetahui
pengertian dari bank dan bunga bank.
3.
Mengetahui
hubungan antara bunga bank dan riba.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Riba
Asal makna riba menurut bahasa Arab (raba-yarbu) atau dalam
bahasa Inggrisnya usury/interest, ialah lebih atau bertambah (ziyadah/addition)
pada suatu zat, seperti tambahan pembayaran atas uang pokok pinjaman. Misalnya
si A memberi pinjaman kepada si B, dengan Syarat si B harus mengembalikan uang
pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Riba dapat diartikan juga
dengan segala jual beli yang haram. Adapun yang dimaksud disini menurut istilah
syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidaknya menurut syara’, atau terlambat menerimanya.[2]
Jenis-Jenis Riba
Riba bisa terdapat dalam dua hal:
1.
Utang.
Riba dalam utang adalah tambahan atas utang, baik yang
disepakati sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas pelunasan
yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi dalam qardh
(pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh, seperti jual-beli kredit.
Semua bentuk riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena muncul
akibat tempo (penundaan).
2.
Transaksi jual-beli.
Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran tidak
seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram ditukar
dengan emas 5,5 gram ). Jenis ini yang disebut sebagai riba fadhl. Riba
dalam jual-beli juga terjadi karena pertukaran antar barang ribawi yang tidak
kontan, seperti emas ditukar dengan perak secara kredit. Praktek ini
digolongkan ke dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan
istilah riba yad.
B.
Bank dan Bunga Bank
Bank (pengucapan bahasa
Indonesia: [bang]) adalah sebuah lembaga
intermediasi keuangan umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima
simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal
sebagai banknote. Kata bank berasal dari bahasa Italia banca berarti tempat penukaran uang. Sedangkan
menurut undang-undang perbankan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Bunga bank adalah keuntungan yang
diberikan oleh bank kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
persentase dan jumlah tabungan (modal) nasabah, dan bunga ini akan berbalik
kepada bank jika statusnya adalah kredit (nasabah yang meminjam sejumlah uang
pada bank).
C.
Hubungan Riba Dengan Bunga Bank
Islam telah menetapkan hukum riba
dan larangannya, termasuk di dalamnya. Praktek-praktek kapitalisme berupa bunga
Bank, kartu kredit, kredit motor, kredit mobil, kredit barang-barang rumah
tangga hingga KPR atau kredit perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya
haram,[3]
pelakunya dihinakan Allah jika tidak segera bertaubat, dasarnya sangat tegas
terdapat dalam firman Allah SWT QS. Al Baqarah (2) ayat 275 :
Artinya: “Orang-orang yang makan
(mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu
terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Hukum riba dan bunga bank hingga
saat ini masih banyak kaum musliminyang memperselisihkannya. Sebagian
mengatakan riba itu haram jika berlipat-lipat, dan sebagaian mengatakan
seberapapun jumlah tambahan dari pinjaman itulah definisi riba. Ada yang
mengatakan bahwa bunga bank itu tidak haram karena hanya kecil bunganya
sehingga dianggap sebagai jasa penyimpanan saja. Adapun terkait dengan
pemotongan oleh pihak Bank yang jumlahnya besar; bahkan lebih besar dari bunga
yang didapat merupakan hal yang wajar karena pihak bank telah memberikan jasa
menjaga dan memberikan kemudahan atas berbagai transaksi yang kita lakukan.
Apalagi hal itu sudah diketahui oleh nasabah sebelumnya. Sehingga ia tidak bisa
dijadikan alasan untuk membolehkan bunga (riba).
Pendapat Ulama
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama’
sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram.
Pertemuan 150 Ulama’ terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan
Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi
bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek
riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional
yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank.
Abu zahrah, Abu ‘ala al-Maududi
Abdullah al-‘Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk
riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh
bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan
darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah
darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat
ini dikuatkan oleh Al-Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh
seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun
banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank
itu dengan bunga.
Dr. Sayid Thantawi yang berfatwa
tentang bolehnya sertifikat obligasi yang dikeluarkan Bank Nasional Mesir yang
secara total masih menggunakan sistem bunga, dan ahli lain seperti Dr. Ibrahim
Abdullah an-Nashir dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan
mengatakan, “Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada kekuatan Islam
tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba”.
Ia juga mengatakan, “Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang
jelas dengan amal-amal ribawi yang dilarang Al-Qur’an yang Mulia. Karena bunga
bank adalah muamalah baru, yang hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang
pasti yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang pengharaman riba”.
Pendapat A. Hasan, pendiri dan
pemimpin Pesantren Bangil (Persis) berpendapat bahwa bunga bank seperti di
negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda
sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.
Menurut musyawarah nasional alim
ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank
haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang
membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain.
Hasil rapat komisi VI dalam
Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas
Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga
diharamkan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Simpulan
Riba adalah satu dari strategi buruk perekonomian yang mendunia.
Bukan hanya kaum kapitalis, kaum muslimin yang berlabel syariah pun kadang tak
luput dari praktek ini. Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Bunga bank adalah keuntungan yang
diberikan oleh bank kepada nasabah dalam jangka waktu tertentu berdasarkan
persentase dan jumlah tabungan (modal) nasabah, dan bunga ini akan berbalik
kepada bank jika statusnya adalah kredit (nasabah yang meminjam sejumlah uang
pada bank). Islam
telah menetapkan hukum riba dan larangannya, termasuk di dalamnya.
Praktek-praktek kapitalisme berupa bunga Bank, kartu kredit, kredit motor,
kredit mobil, kredit barang-barang rumah tangga hingga KPR atau kredit
perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya haram,[4]
pelakunya dihinakan Allah jika tidak segera bertaubat.
DAFTAR PUSTAKA
id.wikipedia.org/wiki/Riba.
http://nieujik.blogspot.com/2009/01/makalah-riba-dan-bunga-bank-menurut.html.
https://alqandaly.wordpress.com/2013/11/04/hukum-riba-dan-bunga-bank.